Malam minggu menjadi malam yang sangat digemari oleh semua kalangan. Setiap destinasi wisata atau mungkin restoran-restoran yang ada di dekat kawasan menjadi tujuan untuk melepas penat di akhir pekan. Tapi tak jarang, beberapa diantara manusia-manusia itu datang bukan untuk memanjakan diri, melainkan menjemput rejeki. Bekerja setelah digempur oleh satu minggu yang tiada henti. Demi kelangsungan hidup, meski nyatanya hidup juga yang membuat mati.
Djiwa beserta ketiga temannya merupakan salah satu dari berbagai jenis manusia yang menghabiskan malam minggunya di kafe yang tak jauh dari jangkauan rumah Nares. Kini keempatnya masih terduduk di meja dekat tempat live music disediakan, menunggu giliran untuk naik ke sana sebab lima menit sebelumnya jadwal mendadak ditukar.
Tawa Djiwa dan Sakti terdengar begitu puas saat melihat Nares yang baru saja kembali dari toilet, beberapa menit setelah ia terkena serangan dari Respati. Djiwa memukul pelan meja di hadapannya, “Nares muka lo melas banget, hahaha!”
“Sialan lo!” desis Nares yang bergerak menduduki kursi yang diapit Sakti juga Djiwa yang masih sama-sama menertawakannya. Sedangkan di seberangnya terdapat Respati dengan wajah acuhnya, “Pati, setan! Pedes banget tangan lo, punggung gue sampe panas.”
“Cupu, gitu doang ngeluh,” ucapan Respati membuat Nares menganga tak percaya.
Oh, ayolah! Pukulan Respati benar-benar kencang. Nares yakin, lukisan dengan bentuk telapak tangan berwarna merah milik Respati pasti terlihat jelas di punggungnya. Dan bisa-bisanya sang pelaku berkata seperti itu dengan acuh tanpa tahu bagaimana rasanya.
Nares mengusap dadanya berusaha sabar, “Sabar … “ bisik Nares yang masih didengar Djiwa.
“Bales, Na. Masa si Ares mulu yang nampolin lo, sekali-sekali gantian dong!” cetus Djiwa terdengar mengadu domba.
Mata Nares mendelik kesal, “Ye kompor! Nggak ada! Si Ares gue tampol sekali balesnya sepuluh kali lipat!”
“Oh tentu! Membela diri itu penting, bro,” timpal Respati.
“Benci,” kesal Nares mengundang tawa teman-temannya.
Sakti hanya bisa menggeleng melihat kelakuan ketiga temannya itu. Ia menoleh menatap Djiwa yang masih mencoba meredakan tawanya, “Wa,” panggil Sakti.
Djiwa menatap Sakti tanpa jawaban, “Bokap lo lembur lagi?” tanya Sakti yang membuat tawa Djiwa memelan tiba-tiba.
Kepala Djiwa mengangguk membenarkan, “Kenapa?”
“Nothing, cuma nanya,” Djiwa mengangguk.
Respati yang menyimak percakapan singkat itu mulai ikut membuka suara, “Lagi? Emang Om Pradip lembur berapa kali?”
“Udah tiga sama malam ini,” jawab Sakti yang tengah menghisap pod navy miliknya mendahului Djiwa.
Respati mengerutkan keningnya bingung, “Nggak cerita-cerita lo, Wa.”
“It’s not a big deal, Res,” sahut Djiwa dengan santai.
Tidak, bagi Djiwa itu adalah masalah besar. Karena tanpa sang Papa, sunyi dan sepi akan bergerak menusuknya dengan penuh dendam. Ia hanya tidak ingin membesar-besarkan.
Djiwa meneguk kopi yang ia pesan beberapa saat yang lalu. Pikirannya melayang ke beberapa tahun kebelakang, saat di mana dirinya begitu takut sendirian tanpa sang Papa di rumah.
Djiwa yang berumur 11 tahun begitu pendiam saat itu. Sosok yang penuh keceriaan di setiap harinya justru terlihat berbanding terbalik. Marah karena sang Papa meninggalkan dirinya sendirian. Namun, karakternya yang pemendam membuat ia tidak bisa melukiskan perasaannya, diam-diam ia hanya berharap ada yang bisa mengerti.
Sudah sehari penuh semenjak Papanya pergi, tetapi suasana hati Djiwa tidak kunjung membaik.
Tak berselang lama, keponakan dari sang Papa—Laskar—datang, berniat menemani Djiwa kecil yang sendiri selain bersama pembantu di rumahnya. Tanpa basa-basi disertai wajah masam, Djiwa menyambut Laskar begitu saja, membiarkan Laskar berkelana di rumahnya lalu ia kembali melanjutkan lamunan kesalnya.
Laskar yang saat itu terlanjur kesal dengan sikap Djiwa yang tak menghiraukannya, secara tak sadar berbicara dengan nada cukup kasar pada anak yang umurnya 4 tahun lebih muda darinya itu.
“Papa kamu ke Batam buat kerja. Toh kamu juga yang pake uangnya, Wa. Lebay banget kalo kamu sampe mikir Om Pradip nggak sayang sama kamu.”
Lebay.
Djiwa termenung, dirasa dalam dadanya tersentak nyeri, “Iya, Abang bener,” lirih Djiwa dengan senyuman pertamanya di hari ini. Sayangnya, itu bukanlah senyuman lega dan bahagia, melainkan sebuah senyuman getir.
Bohong, Djiwa tidak benar-benar membenarkan ucapan Laskar. Ia hanya berupaya mengiyakan karena terlanjur terpojokan sebab perkataan Laskar menyentak hatinya.
Djiwa kecil melamun, kembali tidak mempedulikan sekitarnya. Hidup berdua hanya dengan Pradipto tak jarang membuat Djiwa bertanya-tanya, apakah sang Papa akan terus bersamanya atau tidak? Jika tidak, apa itu artinya ia akan sendirian?
Tidak pernah sekalipun Djiwa merasa kesepian selama bersama Papanya. Namun, bukan berarti Djiwa tidak takut jika sewaktu-waktu sepi datang menyapa. Sebab yang ia tahu, sepi bisa membunuh siapapun, bahkan lebih kejam dari seluruh pembunuh di penjuru dunia.
Dan saat lelaki dewasa dengan pakaian kantornya yang rapi itu pergi meninggalkannya keluar kota, Djiwa merasa teramat sedih. Sebab benar, akan ada masanya kesepian melanda hidupnya. Dan tak menutup kemungkinan, sepi akan berlaku kejam padanya.
Tanpa ibu, dan tanpa ayah. Djiwa tengah merasa sekesepian itu. Ia hanya seorang anak kecil yang berharap mendapat rengkuh pengganti selama sang Papa tak ada di sisinya. Tetapi, orang-orang tak ada yang mengerti. Orang-orang justru berpikir sikapnya sangat kekanak-kanakan dan harus diperbaiki.
“Wa!”
“Hah?” sentakan yang berasal dari Nares membuat Djiwa terkejut, “Ck! Na, jantungan nih gue!”
Nares menatapnya heran, “Lo ada masalah? Gue panggilin daritadi nggak nyaut, taunya lagi bengong.”
Tiga pasang mata yang ada di meja itu menatap Djiwa penasaran, sedangkan yang ditatap hanya terkekeh berusaha terlihat baik-baik saja, “Apa sih? Hahaha! Gue lagi menghayati lagunya, denger deh ini lagu Sorai-Nadin Amizah. Bagus juga dia nyanyinya,” tutur Djiwa mengalihkan.
Ah, tidak. Tidak sepenuhnya mengalihkan, karena dia benar-benar tulus memuji perempuan manis yang tengah bernyanyi dengan penghayatan di atas sana.
“Nyenyenye,” ledek Nares malas, “Nggak usah alihin pembicaraan, Wa.”
Respati mengangguk membenarkan, “Tau lo! Kalo ada masalah cerita aja, mau masalah kecil atau gede pasti didengerin, serius.”
Sakti turut mengangguk kecil, “Jangan dipendem sendirian terus, Wa. Jangan takut dihakimi. Kalo lo pikir kita bakal adu nasib dan nyepelein perasaan lo, We’re not. Nggak semudah itu juga buat menghakimi orang. Kita temenan udah lama, nggak masalah kalo lo mau cerita. Kalo bokap lo sibuk dan lo ngerasa sepi, ada kita bertiga. You’re not being alone anymore,” sambung Sakti seolah tahu ketakutan apa yang tengah menyerang Djiwa, membuat kedua sudut bibir Djiwa tertarik.
Gemuruh tepuk tangan Nares mengalihkan fokus ketiganya, “Ajib! Sakti sekali ngomong keren banget, gila!” riuh Nares membuat Sakti memutar kedua bola matanya jengah.
Tak!
“Aduh! Pati, kenapa tangan lo enteng banget sih buat melakukan kekerasan ke gue?!” ringis Nares kesakitan akibat jitakan yang Respati beri.
Respati mendengus, “Kelakuan lo kenapa enteng banget mengusik amarah gue dah, Na? Emosi banget.”
“Itu mah lo-nya yang emang darah tinggi!”
“Bangke!”
Tawa Djiwa mengudara, perdebatan kecil yang sedang berlangsung itu membuatnya hangat, membuat ketakutannya hilang begitu saja. Berteman dengan Sakti, Nares, juga Respati membuat sepi tidak tahan berlama-lama di sisi. Mungkin benar, sepi akan selalu ada. Namun setidaknya, dengan mereka, sepi tak bisa berbuat lebih.
“Bibu, Papa benar. Sekarang selain Papa, Djiwa punya sahabat yang bisa mengerti Djiwa dan selalu ada buat Djiwa. Bibu jangan khawatir lagi, ya? Miss you so bad, Bibu.”